Polemik
tentang urgensi ”Sex Education” dimasukkan kedalam kurikulum sekolah,
merupakan wacana yang mengemuka akhir-akhir ini, baik dalam forum-forum
seminar maupun obrolan ringan saat rehat di ruang kerja. Tidak ada asap
bila tidak ada api, wacana ini muncul seiring menggilanya seks bebas di
kalangan remaja. Data hasil survei 2008 Kementrian Negara Pemberdayaan
Perempuan menunjukkan, sebanyak 63 persen remaja SMP sudah melakukan
hubungan seks..Sedangkan 21 persen siswa SMA pernah melakukan aborsi.
Kita
semua maklum, bila mendengar kata ”Seks” maka yang terbersit dalam
benak sebagian besar orang adalah hubungan seks. Sesungguhnya, seks itu
artinya jenis kelamin yang membedakan pria dan wanita secara biologis.
Seksualitas menyangkut banyak dimensi, diantaranya dimensi biologis,
yaitu berkaitan dengan organ reproduksi, cara merawat kebersihan dan
kesehatan; dimensi psikologis, dimana seksualitas dikaitkan dengan
identitas peran jenis, perasaan terhadap seksualitas dan bagaimana
menjalankan fungsinya sebagai makhluk seksual; dimensi sosial, berkaitan
dengan bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia serta
bagaimana lingkungan berpengaruh dalam pembentukan pandangan mengenai
seksualitas dan pilihan perilaku seks; dan dimensi kultural, menunjukkan
bahwa perilaku seks itu merupakan bagian dari budaya yang ada di
masyarakat.
Terlepas
dari pro kontra, menurut penulis ”Sex Education” sudah seharusnya
diberikan kepada peserta didik yang sudah beranjak remaja, baik melalui
pendidikan formal maupun informal. Hal ini penting untuk mencegah
ambigunya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi di kalangan remaja. Berdasarkan butir kesepakatan 184 negara
termasuk Indonesia yang dicetuskan di Kairo pada tahun 1994, salah satu
butir kesepakatannya adalah mengusahakan dan merumuskan perawatan
kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang
komprehensif termasuk bagi para remaja.
Terdapat
dua alasan mengapa ”Sex Education” penulis anggap penting bagi remaja.
Pertama adalah saat peserta didik tumbuh menjadi remaja, mereka belum
mengerti dengan seks, sebab orang tua masih menganggap bahwa
membicarakan mengenai seks adalah hal yang tabu. Sehingga dari
ketidakmengertian tersebut para remaja boleh jadi merasa tidak
bertanggung jawab atas seks dan kesehatan anatomi reproduksinya. Kedua,
dari ketidakmengertian tersebut membawa peserta didik mencari informasi
lain yang ditawarkan oleh sebagian orang melalui komoditi yang bersifat
pornografi, semisal VCD, majalah, internet, sampai pada tayangan
televisi yang sudah mengarah kepada hal yang seperti itu. Dampak dari
ketidakfahaman remaja tentang sex education ini, menggiring pada hal-hal
negatif , seperti tingginya hubungan seks di luar nikah, kehamilan yang
tidak diinginkan, sampai pada penularan penyakit yang menakutkan yaitu
HIV.
Sex
Education mempunyai ruang pembahasan yang luas dan komplek. Sex
Education tidak hanya sebatas pada seks dalam arti heterosexsual dan
bukan pula semata-mata menyangkut masalah biologis atau fisiologis saja
melainkan juga berkaitan dengan psikologi, sosio-kultural, agama dan
kesehatan. Melalui artikel ini, mari kita diskusi secara santun,
melepaskan ego dan mengendapkan emosi untuk merumuskan kurikulum sex
education sebagai sarana pencerahan bagi remaja.
Sumber : http://roebyarto.multiply.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar